Ketika mas Thamrin meminta saya memberikan sambutan untuk pembukaan pameran sketsanya, Impromptu, saya merasa senang dan terhormat. Mas Thamrin adalah teman dan arsitek yang saya kagumi bukan saja karena kompetensinya, tapi terlebih oleh kerendahan hati dan kesabarannya; dua properti yang tidak mungkin akan dilekatkan orang pada saya.
Mungkin karena itu mas Thamrin cocok dengan sketsa, sementara saya tidak.
Dalam pengantarnya untuk Bandung Sketchwalk, ia mengatakan, “menggambar membuat kita berhenti sejenak dan mengamati dengan lebih seksama.”
Di dunia yang berlari, menggambar adalah berjalan dengan langkah yang pelahan. Ketika kita bergegas merekam gambar dengan instagram dan dengan riuh menampilkannya lewat berbagai macam efek pulasan di akun kita hanya dalam beberapa detik saja, para penggambar dengan sabar duduk, mengamati, dan menangkap gestalt atau kesatuan bentuk dari benda-benda.
Pada momen itu, beberapa peristiwa terjadi sekaligus.
Melalui mata dan tangan, kita mempelajari proporsi dan skala dengan hati-hati dan seksama. Dengan demikian, tubuh tidak hanya merekam, melainkan juga menginternalisasi keduanya. Melalui kesadaran yang terbangun pelan-pelan, kita juga hadir di dalam ruang. Kita menjadi peka pada cahaya dan bayangan, pada yang jauh dan yang dekat, pada kualitas-kualitas taktil yang mengusik indera. Pada momen itu, kita membuat ikatan dengan tempat di mana kita berada.
Karena itu, dengan optimis, mas Thamrin juga menyatakan, “Dengan menggambar lingkungan sekitar kita, mudah-mudahan kita menjadi lebih peka dan peduli pada kota kita.”
Tapi membuat sketsa bukan hanya untuk tujuan mulia tersebut. Ia adalah kegiatan yang menyenangkan. Sebuah rekreasi – yang jika kita kembalikan kata itu pada maknanya – adalah: penciptaan kembali. Di dalam proses itu, kita seperti tercebur pada sebuah permainan, di mana setiap coretan menuntun pada coretan berikutnya. Jika Stephane Mallarme, penyair Perancis, mengatakan, “Inisiatif tidak ada pada penyair – tapi pada kata,” maka dalam menggambar, inisiatif bukan pada pembuat skets – melainkan pada garis.
Karena itu di dalam menggambar, tak ada “kesalahan” atau “kecelakaan”. Dan karenanya, tak perlu sentuhan yang berlebihan, "make up" yang menyamarkan keduanya. Dalam menggambar sketsa, kita tidak saja belajar untuk mengejar “kebenaran”, tapi juga berlatih berhenti di saat yang tepat – dan membiarkan gambar menyisakan masih banyak ruang untuk interpretasi dan imajinasi. Dengan lucu, mas Thamrin menganalogikan proses sketsanya dengan “roti gosong”: kalau digambar terlalu lama, sketsa kehilangan gregetnya, spontanitasnya, kesegarannya. Seperti roti gosong yang dipanggang kelamaan.
Memang, setiap sketsa bergerak antara mimesis dan metamorfosis.
Dalam mimesis, kita menirukan realitas dengan setia. Makin persis makin baik dan benar. Prinsip ini punya sejarah yang jauh ke belakang, Pandangan pemikir Yunani Kuno, Aristoteles, menjejak jelas: seni hanya benar bila meniru apa yang terjadi dalam alam dan kehidupan. Dengan kata lain, yang ingin diteguhkan sebagai "kebenaran" adalah sesuainya peniruan ekspresi seseorang dengan apa yang ada di dunia, di kancah benda dan peristiwa di luar dirinya.
Dalam seni modern, hal itu menggelikan karena mengingkari, atau setidaknya tak memahami, impuls kreatif dalam seni -- impuls yang justru membuka jalan ke hal-hal yang tak lazim dan yang tak terduga-duga.
Dalam metamorfosis kita tidak berusaha menegakkan persamaan antara karya dengan dunia, kita tidak sedang meletakkan marka-marka similaritas. Dalam metamorphosis, kita memanjakan energi kreatif, membentuk sesuatu yang baru dan sama sekali lain, dengan imajinasi. Bahkan dengan kegilaan.
Orang-orang yang hidup dalam mimesis: hidup dengan dunia yang mandeg. Takluk oleh realita. Sementara itu, metamorphosis adalah hasil dari melihat dunia dengan terpesona – menyulap benda dan pengalaman jadi hal-hal yang tak seperti sebelumnya – proses produksi sesuatu yang baru. Dalam kebaruan itu ada perayaan akan kebebasan – bebas dari kesamaan dengan dunia atau realita dalam persepsi orang lain. Bebas dari hirarki kebenaran.
Jika sketsa ada di antara keduanya, maka yang diperlukan adalah kerendahan hati: kerelaan untuk mengadopsi dunia di luar kita sebagai realitas tanpa keharusan “menaklukan”nya di atas kertas. Sebaliknya, kita membebaskan diri untuk (seperti anak kecil) terpesona dan mencoba menciptakan realitas baru secukupnya, tanpa persiapan dan latihan. Impromptu – seperti judul dari pameran ini.
Untuk mas Thamrin, selamat. Untuk teman-teman sekalian, bebaskan diri anda menikmati pameran ini impromptu.
(Avianti Armand)